Beranda | Artikel
Menjama Shalat Jumat Dengan Ashar
Jumat, 24 Februari 2017

MENJAMA’ SHALAT JUM’AT DENGAN ASHAR

Pertanyaan.
Bismillah. Bagaimana hukum ketika kita jadi musafir lalu kita mengikuti shalat Jum’at, setelah itu kita menjama shalat Ashar? Boleh atau tidak? Mohon dijelaskan dengan gamblang.

Jawaban.
Perlu diketahui, para Ulama telah bersepakat bahwa seorang musafir tidak diwajibkan untuk mengerjakan shalat Jumat dan cukup baginya mengerjakan shalat Zhuhur saja. Para Ulama juga sepakat, bila seorang musafir dalam perjalanannya mampir di suatu masjid yang sedang berlangsung shalat Jum’at lalu ia ikut dalam shalat itu, maka kewajibannya untuk shalat Zhuhur gugur.

Namun pertanyaan saudara berkenaan dengan musafir yang mengerjakan shalat Jum’at itu, apakah diperbolehkan langsung mengerjakan shalat Ashar dengan cara dijama, sebagaimana menjama antara shalat Zhuhur dengan shalat Ashar?

Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan Ulama dalam dua pendapat:

Pendapat Pertama : Menyatakan Bahwa Itu Diperbolehkan.
Ini adalah pendapat mayoritas Ulama, seperti mazhab al-Hanafiyah, al-Malikiyah dan asy-Syafi’iyah. [Lihat kitab Syarah al-Kharsyi wa Hasyiyatu al-Adwi, jilid 2 hal. 72-73, al-Majmû‘ Syarah al-Muhadzdzab, 4/383, kitab Asna al-Mathalib 1/242 dan kitab Tuhfatul Habîb 2/175].

Diantara dasar pendapat ini adalah:
1. Tidak Adanya Nash Yang Melarang
Mayoritas Ulama menyebutkan bahwa tidak ada nash dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau pun dari para Sahabat yang melarang shalat Jum’at dikerjakan dengan cara dijama’ dengan shalat Ashar. Tidak ada satu pun nash yang sharîh (gamblang) tentang hal itu, meskipun juga tidak ada nash yang membolehkan. Seandainya menjama antara shalat Jum’at dan shalat Ashar itu tidak boleh, tentu ada larangannya. Karena setiap orang pasti tidak terhindar dari melakukan safar di hari Jum’at. Sebagai contoh perjalanan antara Mekah dan Madinah yang pada zaman dahulu biasa ditempuh dalam waktu seminggu, pastilah semua orang yang menempuh jarak itu akan melewati hari Jum’at dalam perjalanan.

2. Ittihâdul Waqti (kesamaan waktu).
Jumhur Ulama mengatakan bahwa meski shalat Jumat dan shalat Dzhuhur itu berbeda, namun keduanya memiliki kesamaan yaitu ittihadul waqti. Maksudnya, antara keduanya punya waktu pelaksanaan yang satu, yaitu sejak tergelincir (zawal) matahari hingga masuknya waktu shalat Ashar. Sehingga kalau shalat Zhuhur boleh dijama dengan shalat Ashar, otomatis shalat Jum’at yang waktunya sama dengan shalat Zhuhur pun berarti boleh dijama dengan shalat Ashar.

3. Kesamaan ‘Illat
Dalam pandangan Jumhur Ulama, meskipun antara shalat Jum’at dan shalat Zhuhur ada perbedaan dalam hukum dan ketentuan, namun tidak bisa dipungkiri bahwa antara keduanya ada begitu banyak persamaan dan ‘illat.

Menurut Jumhur ulama, salah satu hikmah dari dibolehkannya menjama’ dua shalat di satu waktu adalah karena syariat Islam punya prinsip memberikan keringanan.

Maka akan menjadi tidak konsisten apabila dibedakan antara shalat Jum’at dan shalat Zhuhur dalam masalah kebolehan menjama’nya dengan shalat Ashar. Artinya, jika shalat Zhuhur boleh dijama’ dengan shalat Ashar, maka shalat Jum’at juga boleh.

Bukankah seorang musafir boleh dan bebas memilih untuk melakukan shalat Jum’at atau melakukan shalat Zhuhur sebagai ganti dari shalat Jum’at? Lantas mengapa kalau musafir itu memilih untuk mengerjakan shalat Jum’at, keringanan yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepadanya sebagai musafir harus dicabut?

Apa kesalahan yang telah dilakukan oleh musafir itu sehingga dia kehilangan hak untuk menjama’ shalatnya?

4. Kebolehan Qiyas
Dengan begitu banyak kesamaan hukum dan illat antara shalat Jum’at dan shalat Zhuhur, maka boleh saja antara keduanya dilakukan qiyâs.

Salah satu Sahabat yang menqiyaskan antara shalat Zhuhur dengan shalat Jum’at adalah Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu. Dan qiyas ini juga Imam al-Bukhâri rahimahullah, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar al-Asqalâni dalam kitab Fathul Bâri jilid 2 hlm. 389

5. Prinsip Keringanan
Pada dasarnya Allâh Azza wa Jalla sebagai pembuat syariat telah memberikan keringanan kepada para musafir dalam menjalankan ibadah shalat dengan adanya syari’at jama’ antara dua waktu shalat dan juga mengqasharnya.

Selama seseorang menjadi musafir,  maka ketentuan dari Allâh Azza wa Jalla adalah dia berhak mendapatkan keringanan, tanpa harus dibedakan apakah dia menjama’ antara shalat Zhuhur dengan shalat Ashar ataukah dia menjama’ shalat Jum’at dengan Ashar.

6. Prinsip Shalat Jama’
Jumhur Ulama sepakat bahwa tidak ada yang salahnya ketika seorang musafir menarik shalat Ashar ke waktu shalat Zhuhur untuk dikerjakan dengan cara dijama’, tanpa melihat, apakah shalat yang dikerjakan itu shalat Zhuhur atau shalat Jum’at?

Sebab prinsip menjama’ itu semata-mata hanya memindahkan pelaksanaan satu shalat dari waktunya ke waktu shalat lainnya, baik sebagai jama’ taqdîm yang berarti shalat yang kedua dipindahkan pengerjaannya ke waktu shalat yang pertama, atau pun dengan cara jama’ ta’khîr yang berarti shalat yang seharusnya dikerjakan di waktu pertama dipindah pengerjaannya pada waktu shalat yang kedua.

Oleh karena itu, tidak ada yang salahnya, ketika seorang musafir yang mengerjakan shalat Jum’at menarik shalat Ashar ke waktu pertama, dan dikerjakan langsung seusai mengerjakan shalat Jum’at sebagai jama’ taqdîm.

Namun para Ulama yang membolehkan menjama’ antara shalat Jum’at dan shalat Ashar menetapkan syarat yaitu jama’ itu dilakukan dengan cara taqdîm. Artinya, mengerjakan shalat Jum’at di waktu Zhuhur. Sedangkan bila yang dilakukan adalah jama’ ta’khîr, yaitu shalat Jum’at itu dikerjakan di waktu Ashar, maka mereka tidak membolehkannya.

Pendapat Kedua : Menyatakan Bahwa Shalat Jumat Tidak Boleh Dijama Dengan Shalat Ashar Secara Umum.
Ini adalah pendapat mazhab al-Hanabilah.  [Lihat kitab Kasysyaf al-Qinna’, jilid 2 hlm. 21 dan kitab Mathâlib Ulin Nuha, jilid 1 hlm. 755]

Diantara dasar pendapat ini adalah:
1. Tidak ada nash yang membolehkannya
Dalam pandangan mazhab al-Hanabilah adalah tidak ditemukan nash berupa hadits atau atsar yang menyebutkan secara sharîh atau tegas bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau Sahabat pernah melakukan shalat Jum’at lalu disambung dengan mengerjakan shalat Ashar dengan cara dijama’.

2. Tidak ada qiyâs dalam masalah ritual ibadah
Menjama’ shalat Jum’at dengan shalat Ashar berarti melakukan qiyâs antara shalat Jum’at dengan shalat Zhuhur, padahal tidak ada qiyas dalam masalah ritual ibadah. Oleh karena itu, qiyâs itu tidak berlaku dan tidak sah.

3. Shalat Jumat berbeda dengan shalat Zhuhur
Yang juga dijadikan dasar melarang jama’ antara shalat Jum’at dan shalat Ashar adalah shalat Jum’at bukan shalat Zhuhur. Keduanya memiliki banyak perbedaan yang mendasar.

Ada banyak hukum yang berlaku dalam shalat Jum’at tapi tidak berlaku dalam shalat Zhuhur. Dan demikian juga sebaliknya, ada banyak hukum yang berlaku pada shalat Zhuhur yang tidak berlaku pada shalat Jum’at.

MANA YANG LEBIH KUAT
Melihat dalil masing-masing pendapat, nampaknya bahwa pendapat kedua lebih kuat. Wallahu a’lam

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah merajihkan pendapat mazhab Hanabilah ini dengan menyampaikan beberapa sebab:

  1. Tidak ada qiyâs dalam masalah ritual ibadah.
  2. Shalat Jum’at merupakan shalat tersendiri, memiliki lebih dari 20 hukum (ketentuan-ketentuan) tersendiri yang berbeda dengan shalat Zhuhur. Perbedaan seperti ini menyebabkan ia tidak bisa disamakan (diqiyaskan) ke shalat yang lainnya. (Lihat Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ini di majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun IX/1426H/2005).

Wallâhu‘alam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/6442-menjama-shalat-jumat-dengan-ashar.html